Senin, 04 Oktober 2010

PERBEDAAN DISIPLIN BELAJAR ANTARA SISWA YANG TINGGAL DI PONDOK PESANTREN DENGAN SISWA YANG TINGGAL DI LUAR PONDOK PESANTREN

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan arus kehidupan manusia saat ini sangatlah pesat. Perkembangan ini dipicu oleh berkembangnya era globalisasi yang membius manusia untuk selalu menjadi sosok yang dinamis sesuai dengan perkembangan zaman. Kemajuan era globalisasi memudahkan manusia untuk mengakses segala bentuk informasi tentang perkembangan dunia. Informasi tersebut bisa diperoleh melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Media memberikan informasi dan pengetahuan untuk segala kalangan mulai dari anak-anak sampai orang tua yang lanjut usia. Manusia dituntut untuk ekstra keras menggali setiap informasi dan pengetahuan agar manusia tidak ketinggalan oleh perkembangan arus zaman, karena setiap arus perkembangan teknologi dan informasi akan terus menerus berubah dan berkembang.
Manusia harus tanggap akan perkembangan zaman ini, khususnya generasi muda, karena mereka adalah generasi penerus bangsa, mereka yang akan menentukan kelak bagaimana suatu negara akan maju dan berkembang, dan salah satu yang harus dilakukan generasi muda adalah melalui dunia pendidikan.
Menurut Syah (2003) Pendidikan pada dasarnya adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi sumber daya manusia peserta didik dengan cara mendorong dan memfasilitasi kegiatan belajar mereka. Bidang pendidikan yang ditempuh siswa selain memberikan mereka berbagai disiplin ilmu, mereka juga akan ditempa atau dididik untuk menjadi seseorang yang memilki disiplin yang tinggi, karena dengan disiplin seseorang akan menghargai waktu dan tidak menunda suatu pekerjaan atau tugas yang diberikan. Oleh karena itu peneliti ingin memfokuskan pembahasan mengenai disiplin belajar.
Menurut Hurlock (2000), disiplin berasal dari kata yang sama dengan disciple yaitu individu yang belajar dari atau secara suka rela mengikuti pimpinan. Orang tua dan guru merupakan pimpinan dan anak merupakan murid yang belajar dari cara hidup pimpinan menuju ke hidup yang berguna dan bahagia. Sedangkan belajar menurut Skinner (Syah, 2003) adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif dan menurut Wittig (Syah,1981) mendefinisikan belajar adalah perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam/keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil dari pengalaman. Jadi disiplin belajar adalah suatu perubahan sebagai hasil dari pengalaman yang dilakukan secara progresif berdasarkan peraturan-peratuan yang telah ditetapkan oleh sebuah lembaga atau pimpinan.
Disiplin belajar harus ditegakkan karena dengan disiplin belajar, siswa akan mampu menghargai waktu dengan baik dan memanfaatkannya dengan efektif. Disiplin belajar meliputi keseluruhan kegiatan akademisi siswa yang berhubungan dengan pelajaran di sekolah mulai dari aktivitas belajar di rumah atau pondok maupun di kelas pada saat siswa berada di sekolah. Disiplin belajar yang rendah ditandai dengan banyaknya siswa-siswa yang berkeliaran di jalanan pada saat jam pelajaran, sering keluar masuk kelas tanpa tujuan, tidak memakai seragam yang telah ditentukan sekolah, bolos, halaman sekolah, ruangan guru, ruangan kantor, ternyata selalu saja dipenuhi dengan sampah yang dibuang sembarangan oleh orang-orang di sekitar yang kurang disiplin, tidak tepat waktu masuk ke kelas dan lain sebagainya. Berita-berita baik di media cetak maupun elektronik banyak yang membahas bahwa banyak siswa-siswa yang berkeliaran pada waktu jam sekolah, siswa-siswa berdalih bahwa gurunya belum datang atau pelajaran pada saat itu tidak enak untuk diikuti, atau alasan yang lain, akan tetapi apapun alasannya seharusnya mereka harus taat pada peraturan yang telah ditetapkan sekolah.
Kenyataan bahwa siswa sering kurang disipin dalam belajar di sekolah dialami juga di Yayasan Pondok Pesantren Hubbul Wathan, Duri – Riau. Peneliti melakukan observasi dan wawancara pada tanggal 1-12 juni 2008 pada beberapa siswa yang peneliti anggap kurang disiplin di sekolah pada jam pelajaran berlangsung. Mereka ada yang berada di kantin atau keluar area sekolah. Fenomena ini sering peneliti jumpai selama peneliti melakukan observasi disana kurang lebih 2 minggu. Peneliti mewawancarai sebagian dari mereka yang tidak disiplin dalam belajar di sekolah antara lain siswa yang tidak memakai seragam, bolos atau istilah disana ’cabut’ pada saat jam pelajaran, berkeliaran di sekitar sekolah. Peneliti menanyakan alasan mereka tidak disiplin dalam belajar dengan peraturan yang telah ditetapkan sekolah dan mereka menjawab ”gurunya tidak enak”, atau ”gurunya belum datang”, ”seragam sedang dicuci” dan banyak lagi alasan lainnya. Peneliti mencoba lebih memperdalam pengamatan terhadap siswa-siswa tersebut dengan menanyakan tempat tinggal mereka, dari 5 orang yang peneliti wawancarai hasilnya 3 dari 5 orang yang tidak disiplin belajar pada saat dilakukannya observasi dan wawancara adalah siswa yang tinggal di luar pondok pesantren. Peneliti mewawancarai Sekretaris Jendral Yayasan Pondok Pesantren Hubbul Wathan Bapak Mohd. Rafi Riyawi bagaimana disiplin belajar siswa-siswa di Yayasan Pondok Pesantren Hubbul Wathan dan beliau menjawab ”siswa-siswa di yayasan ini disiplinnya baik, kami jarang mendengar laporan dari satpam sekolah tentang adanya siswa yang tidak berdisiplin”. Fakta ini bertolak belakang dengan apa yang peneliti amati secara langsung.
Bisakah kita bertanya, “mengapa kita tidak berhasil menanamkan disiplin ini pada generasi sekarang?” Apa sebenarnya yang tidak berfungsi dalam sistem pendidikan kita? apa jalan keluar yang dapat kita lakukan?. Peneliti ingin mencoba menggali apa penyebab tidak disiplinnya belajar siswa di sekolah. Banyak faktor yang mempengaruhi disiplin belajar siswa. Menurut Hamalik (2000) faktor-faktor yang mempengaruhi disiplin belajar adalah pertama faktor internal yang meliputi keadaan fisiologis siswa misalkan cacat jasmani, tidak sehat dan keadaan psikologis siswa misalkan tingkat kecerdasan / inteligensi siswa, sikap siswa dalam disiplin belajar, motivasi siswa. Kedua faktor eksternal meliputi ruang lingkup lingkungan siswa misalnya teman sebaya, keluarga teman di sekolah, guru yang mengajar, tempat tinggal dan lain sebagainya.
Faktor-faktor eksternal yang berpengaruh terhadap disiplin belajar salah satunya adalah tempat tinggal siswa. Tempat tinggal merupakan sarana yang banyak memberikan kontribusi bagi peningkatan disiplin belajar. Tempat tinggal terbagi menjadi dua yaitu tempat tinggal bersama orang tua / wali (rumah pribadi / kost) atau tempat tinggal yang disediakan oleh sekolah atau sering disebut pondok pesantren.
Pertanyaan-pertanyaan tentang disiplin memang harus dipertanyakan khususnya bagi sekolah-sekolah yang notabene sebagai sarana pendidikan bagi siswa. Banyak sekolah-sekolah menerapkan disiplin bagi anak didik mereka, dengan alasan bahwa sekolah yang menegakkan disiplin akan menjadi sekolah yang berkualitas, baik dari segi apapun juga. Konon bagaimanapun atau apapun model dan kualitas inputnya, semua akan menjadi berkualitas jika semua bisa dilakukan lewat disiplin. Pandangan ini bisa salah dan bisa saja benar, setidaknya membuat lingkungan sekolah berdisiplin, terutama disiplin dalam belajar dan proses mengajar adalah sesuatu yang harus dilakukan oleh sekolah. Pengkondisian dalam soal disiplin akan membuat image tersendiri di lingkungan sekitar tentang kondisi sekolah.
Peran serta sekolah dalam menumbuhkembangkan pribadi disiplin sangat membantu siswa. Usaha-usaha menumbuhkan kualitas disiplin belajar oleh sekolah salah satunya dengan membuat pondok pesantren atau asrama bagi siswanya agar siswa dapat dipantau atau dikontrol kegiatan belajarnya 24 jam. Di dalam pondok pesantren siswa dibina dan ditempa baik dalam akhlak maupun pelajaran. Pondok pesantren dijadikan sebagai wadah yang tepat untuk menumbuhkembangkan disiplin belajar, seluruh jadwal siswa dipantau dan ditetapkan oleh sekolah dan harus dijalani oleh setiap siswa dengan memberikan juga konsekuensi atas suatu pelanggaran kepada siswa jika peraturan-peraturan yang ada tidak dijalankan dengan semestinya. Seharusnya siswa di pondok pesantren memiliki disiplin belajar yang tinggi. Mereka harus mengatur kegiatan belajar mereka sendiri dengan baik karena padatnya aktivitas sehari-hari. Dengan berdisiplin siswa di pesantren akan mampu menjalani kegiatan belajarnya sehari-hari.
Selain peran serta sekolah dalam peningkatan disiplin belajar siswa, keluarga juga mempunyai peranan yang sama dalam peningkatan disiplin belajar siswa. Orang tua sebagai monitor dalam keluarga diharapkan mampu mengontrol setiap aktivitas siswa. Akan tetapi tidak jarang keluarga khususnya orang tua, tidak menganggap penting masalah kedisiplinan. Ada sebagian orangtua yang berpendapat bahwa anak tidak memerlukan disiplin sebab pada akhirnya ia akan belajar disiplin dengan sendirinya. Pandangan ini tidak tepat sebab anak memerlukan disiplin sama seperti anak memerlukan tangan orang tua untuk menuntunnya belajar berjalan. Para orang tua biasanya membebaskan anaknya melakukan hal-hal yang disukai tanpa mengontrol kegiatan anak tersebut, tetapi ada juga sebagian orang tua yang lain malah sangat mengekang anaknya sehingga anak tidak diberikan kebebasan dalam menentukan kegiatannya.
Perbedaan peraturan dalam lingkungan tempat tinggal antara pihak sekolah dan pihak keluarga, memberikan keragaman proses pembentukan suatu disiplin bagi siswa. Di pondok pesantren, segala kegiatan anak dikontrol, tidak ada alasan anak untuk membolos karena bisa langsung di cek di asrama, anak tidak bisa terlambat masuk sekolah karena asrama berada dalam lingkungan sekolah selain itu padatnya kegiatan belajar membuat anak harus berdisiplin supaya tidak tertinggal dengan teman yang lainnya dalam pelajaran. Sedangkan bagi siswa yang tinggal diluar pondok pesantren mereka mempunyai banyak alasan untuk datang telambat, punya alasan untuk membolos, punya alasan untuk tidak mematuhi aturan karena resikonya lebih kecil ketimbang siswa yang tinggal di pondok pesantren. Mereka tidak mempunyai banyak kegiatan yang mengharuskan mereka untuk membagi waktu dengan sebaik-baiknya.
Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk mencoba meneliti apakah ada perbedaan disiplin belajar antara siswa yang tinggal di pondok pesantren dengan siswa yang tinggal di luar pondok pesantren dengan membuat penelitian dengan judul “Perbedaan disiplin belajar antara siswa yang tinggal di pondok pesantren dengan siswa yang tinggal di luar pondok pesantren”.
B. Keaslian Penelitian
Sepanjang pengetahuan peneliti banyak penelitian yang mengungkap aspek disiplin belajar maupun penelitian tempat tinggal ( asrama sekolah dan tinggal dengan orang tua). Akan tetapi belum ada penelitian yang mengungkap variabel-variabel tersebut secara bersamaan. Jika terdapat kesamaan dan kemiripan dalam penelitian maupun kutipan sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, maka dengan rasa hormat peneliti mohon maaf. Kesamaan dalam penelitian ini adalah unsur ketidaksengajaan semata.
Penelitian yang pernah ada, yang variabelnya sama dengan variabel yang digunakan oleh peneliti adalah:
1. Penelitian Henipah (2006) yang berjudul “Pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap kedisiplinan belajar siswa pada kelas 8 SLTPN 1 Cisaga kabupaten Ciamis TA 2005/2006. Perbedaan penelitian Henipah (2006) dengan penelitian peneliti adalah pada subjek penelitian. Selain itu penelitian Henipah (2006), menggunakan variabel tingkat pendidikan orang tua yang mempengaruhi kedisiplinan belajar sedangkan penelitian peneliti menggunakan aspek tempat tinggal yang mempengaruhi disiplin belajar. Hasil dari penelitian Henipah (2006) menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh tingkat pendidikan orang tua terhadap kedisiplinan belajar siswa.
2. Hartati (1997) yang berjudul “Hubungan antara Disiplin Belajar dan minat melanjutkan studi dalam layanan bimbingan konseling dengan persiapan kerja pada siswa kelas 3 STMN Argo Mulyo Yogyakarta”. Perbedaan penelitian Hartati (1997) dengan penelitian ini adalah pada subjek penelitian. Selain itu penelitian Hartati (1997) memiliki tiga variabel sedangkan penelitian ini hanya memakai satu variabel.
3. Lestari (2001) yang berjudul ”Korelasi antara Motivasi Brprestasi dan Kedisiplinan Belajar Siswa pada Bidang Studi MTK Kelas III SLTP 15 Yogyakarta TA 2000/2001”. Perbedaan penelitian Lestari (2001) dengan penelitian peneliti adalah pemakaian variabel motivasi berprestasi sebagai variabel bebasnya sedangkan penelitian peneliti menggunakan variabel tempat tinggal sebagai variabel bebas. Dalam penelitian Lestari (2001) hasilnya menunjukkan ada hubungan positif antara motivasi berprestasi dengan kedisiplinan belajar.
Kekhasan penelitian ini adalah subjek penelitiannya menggunakan subjek yang berbeda latar belakang tempat tinggal tetapi satu sekolah atau yayasan dan penelitian ini menggunakan studi analisis komparatif dalam analisis datanya.

C. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan disiplin belajar antara siswa yang bertempat tinggal di pesantren dengan siswa yang bertempat tinggal di luar pesantren.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu psikologi khususnya psikologi pendidikan khususnya mengenai disiplin belajar siswa di sekolah.
2. Manfaat praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada kita semua khususnya pendidik agar siswa mempunyai disiplin belajar yang tinggi sehingga mampu menghargai waktu dan melaksanakan kegiatan belajar pelajaran di sekolah sesuai dengan waktunya.

hubungan antara kecenderungan berpikir positif dengan kemampuan pemecahan masalah


BAB I
PENGANTAR
A.     Latar belakang Masalah
Manusia sepanjang rentang kehidupannya sebagai individu yang kompleks dengan dinamika yang tidak terpisahkan antara interaksi fisik, psikis dan lingkungan. Kodrat manusia selama hidupnya yang secara psikologis memiliki berbagai permasalahan yang menuntut penyelesaian agar tidak menjadi beban pada diri individu. Chauhan (1979) menyatakan bahwa masalah dapat timbul saat muncul hambatan dalam usaha untuk mencapai suatu tujuan. Hambatan tersebut dapat berupa masalah-masalah yang berhubungan dengan fisik, ekonomi,sosial maupun psikologis.
Stevent (2002) mengemukakan bahwa kata “masalah” mengacu pada ketidakpastian atau kesulitan (rintangan) yang ditemui ketika menuju situasi yang lebih disukai (tujuan). Mahasiswa mengalami berbagai masalah antara lain yaitu masalah keuangan, masalah kuliah, masalah organisasi, masalah kesehatan, masalah komunikasi, masalah keluarga dan masalah pertemanan. Permasalahan yang kompleks menuntut mahasiswa di asrama untuk cermat dan terampil dalam menyelesaikannya, tetapi tidak sedikit mahasiswa yang mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang rendah sehingga tidak mampu beradaptasi dan berinteraksi dengan orang lain.
Masalah yang dihadapi oleh mahasiswa seringkali dirasakan sulit untuk diatasi dengan baik. Ada dua alasan adanya kesulitan itu. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak sebagian besar masalah yang ada diselesaikan oleh orang tua dan guru sehingga mahasiswa sebagai individu dewasa kurang mempunyai pengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, pola pikir mahasiswa yang ingin dipandang sebagai individu yang mandiri sehingga cenderung ingin mengatasi masalahnya sendiri dan menolak pendapat ataupun bantuan dari orang lain. Penyebabnya adalah ketidakmampuan individu untuk mengatasi masalah yang dihadapi menurut cara yang diyakininya, banak mahasiswa berpendapat bahwa penyelesaian suatu masalah itu tidak harus selesai sesuai dengan yang diharapkan (Hurlock, 1999). Burns (1988) mengemukakan bahwa pada umumnya masalah yang dihadapi individu sering dirasakan lebih berat dari yang sesungguhnya terjadi. Hal ini disebabkan oleh cara individu memandang masalahnya. Individu cenderung berfikir dengan cara yang menyimpang dan memutarbalikkan fakta yang ada.
Semakin banyak mahasiswa yang mengalami masalah dan tidak dapat untuk memecahkan atau menyelelesaikannya maka akan sulit bagi mahasiswa untuk memenuhi tugas-tugas perkembangan untuk menghadapi masa dewasa yang baik. Selain itu akan sulit pula bagi mahasiswa menjadi sumber daya manusia yang potensial. Gordon dkk  (2007) menyatakan bahwa dalam mengatasi masalah yang begitu kompleks ada individu yang dapat mengatasi masalahnya dengan baik namun tidak jarang ada sebagian individu yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan. Individu yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi akademik menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang harmonis serta berbagai masalah dan konflik yang terjadi. Permasalahan tersebut menuntut suatu pemecahan agar tidak mengganggu perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, mahasiswa yang mempunyai masalah dalam bidang akademik tampak menarik diri dari kegiatan civitas akademika salah satunya dengan jarang datang ke kampus, sering membolos prokastinasi akademik, sering merasa rendah diri dan sensitif saat berada di lingkungan.
Kemampuan pemecahan masalah yang baik adalah mampu mengenal karakteristik masalah yang sedang dihadapi dan menentukan inti masalah tersebut. Anderson dkk. (1994) mengemukakan bahwa individu yang kurang mamp;u dalam memecahkan masalah pada umumnya disebabkan oleh kesulitan atau ketidakmampuan untuk menemukan inti masalah. Sebaliknya, individu dengan kemampuan yang baik dalam memecahkan masalah cenderung lebih mudah menemukan inti masalah, peka terhadap permasalahan yang dihadapi dan aktif dalam memecahkan masalahnya.
Berdasarkan hasil observasi diketahui bahwa pada saat menghadapi masalah beberapa mahasiswa di asrama Kabupaten Paser tampak bersikap masa bodoh. Saran yang diberikan oleh mahasiswa lain dianggap sebagai angin lalu. Mereka sering terlihat uring-uringan, tidak percaya diri dan seringkali melakukan kegiatan-kegiatan lain untuk mengalihkan perhatiannya dari permasalahan yang sedang dihadapi.
Faktor dan proses kognitif individu menjadi lebih berperan terhadap terjadinya pemecahan masalah. Newman & Newman (Susetyo, 1998) menyatakan perkembangan kognitif individu memungkinkan individu untuk berfikir logis, membuat abstraksi, berfikir tentang masa depan, melihat hubungan sebab akibat, memperkirakan masa depan atau cara mengatasinya. Pengalaman dalam memecahkan masalah sangat berguna dalam menghadapi masalah yang hampir sama.maka sangat penting untuk menyimpan pengalaman tersebut ke dalam memori dengan memberi kesan positif terhadap suatu peristiwa atau permasalahan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Crider dkk. (1983) yang menemukan bahwa memusatkan perhatian pada sisi positif dari suatu keadaan yang sedang dihadapi akan membuat seseorang menjadi lebih mampu mempertahankan emosi positifnya dan mencegah emosi negatif serta membantu dalam menghadapi situasi yang mengancam dan menimbulkan stres.
Sikap seseorang menerima atau mengintepretasikan pengalaman atau peristiwa-peristiwa kehidupannya secara positif atau negatif akan berpengaruh besar secara psikologis terhadap kemampuan pemecahan masalah. Dengan memandang bahwa setiap permasalahan mempunyai unsur pengalaman yang bermanfaat dalam meningkatkan kemampuan psikologisa maka individu akan cepat dan mempunyai kemampuan dalam memecahkan berbagai masalah.
Individu akan melakukan proses berfikir bila menemui kesulitan dengan harapan dapat dicari jalan keluar dari masalah tersebut. Mengembangkan proses berpikirnya mulai dari pikiran negatif hingga pikiran positif guna mencari jalan keluar. Pemikiran negatif akan menguras energi dan kemauan. Apabila individu memiliki pola berfikir negatif maka individu akan memikirkan banyak pikiran yang negatif dan secara tidak langsung akan berpengaruh pula terhadap proses pemecahan masalah dan pola emosinya. Peale (1997) mengemukakan bahwa berpikir positif merupakan suatu bentuk pola pikir yang berusaha mencari hasil terbaik dari keadaan yang terburuk. Lebih lanjut dijelaskan bahwa berpikir positif merupakan berpikir sehat yang menyeluruh sifatnya karena mengandung gerak mau yang penuh daya cipta terhadap unsur-unsur yang nyata dalam kehidupan individu.
Peran berpikir positif sangan penting dalam menghadapi permasalahan atau peristiwa yang tidak mengenakkan. Individu dapat menjadi seseorang yang optimis atau malah menjadi pesimis saat menhadapi suatu masalah. Kingore dkk ( 2003) menyatakan bahwa berpikir positif dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah. Berpikir positif memandang permasalahan akan membantu individu dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapinya serta fleksibel dan adaptif mengatasi masalah tersebut secara objektif. Contohnya, mahasiswa yang berfikir positif dalam menyelesaikan masalah akan aktif mencari alternatif solusi dengan menerima saran dari orang lain atau mengumpulkan informasi dari lingkungan.
 Seseorang yang menggunakan pola berpikir positif dalam menghadapi permasalahan akan mempunyai ciri-ciri optimis daam menghadapi permasalahan, mempunyai penghargaan yang tinggi terhadap dirinyadan mempercayai bahwa dunia merupakan tempat yang rasional dan terprediksi (Stevans, 2002). Tinggi atau rendahnya kemampuan berpikir positif akan membawa konsekuensi berbeda pada kemampuan pemecahan masalah. Individu yang mampu untuk berpikir positif akan menghindarkan sikap-sikap yang menghambat tercapainya pemecahan masalah yang sedang dihadapiserta mampu melihat persoalan dari berbagai perspekstif dan lebih mudah menemukan inti masalahnya. Dengan demikian individu akan mampu menciptakan lebih banyak alternatif untuk memecahkan suatu masalah.
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada April 2010 terhadap 6 mahasiswa yang tinggal di asrama putra dan 4 di asrama putri  kabupaten Paser diketahui bahwa mahasiswa kurang memiliki kemampuan pemecahan masalah. Permasalahan yang seringkali muncul pada mahasiswa yang tinggal di asrama Kabupaten Paser mulai dari permasalahan pribadi sampai pada konflik interpersonal maupun konflik kelompok yang berujung pada sikap saling benci, dendam dan perkelahian. Mahasiswa dalam mengatasi permasalahan yang ada di Asrama Kabupaten Paser cenderung bersikap pasif dan reaktif sehingga permasalahan yang ada menjadi berlarut-larut atau berkepanjangan. Hambatan yang nampak pada usaha penyelesaian masalah adalah kondisi internal individu antara lain yaitutingkat egoisme sehingga selalu ingin menang sendiri khususnya saat berada dalam konflik komunitas. Selain itu, ketika dihadapkan pada masalah yang sifatnya individual, mahasiswa  di Asrama Kabupaten Paser nampak enggan untuk mencari solusi atau alternatif pemecahan masalahnya. Mereka mempunyai pemikiran bahwa masalah yang ada akan berlalu seiring berjalannya waktu sehingga tidak perlu bersusah payah memikirkan penyelesaiannya. Mahasiswa Asrama Kabupaten Paser cenderung menganggap bahwa permasalahan yang ada adalah nasib atau takdir yang memang sudah seharusnya terjadi dan diterimanya. Masalah yang ada dipandang sebagai ketidakberuntungan yang menjadikan individu merasa tidak berharga dibandingkan dengan individu yang lain. Beberapa dari mereka memiliki rasa takut gagal dalam penyelesaian masalahnya sehingga memilih untuk berdiam diri.
Berdasarkan fenomena kemampuan pemecahan masalah yang dialami oleh mahasiswa di asrama Kabupaten Paser maka peneliti ingin mengetahui “Apakah ada hubungan antara kecenderungan berpikir positif dengan kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa di asrama kabupaten Paser”, selanjutnya penelitian ini diberi judul “Hubungan antara Kecenderungan Berpikir Positif dengan Kecenderungan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Mahasiswa di Asrama Kabupaten Paser”.

B.    Keaslian Penelitian
Penelitian tentang mahasiswa telah banyak dilakukan, akan tetapi penelitian tentang kecenderungan berpikir positif dan kemampuan pemecahan masalah belum pernah dilakukan. Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis ini berbeda dengan penelitian lain karena berfokus pada berpikir positif dan kemampuan pemecahan masalah.
Penelitian serupa mengenai kemampuan pemecahan masalah dilakukan oleh Rohaeni (2000) dengan judul “ Hubungan antara Kepercayaan Diri dengan Kemampuan Pemecahan Masalah pada Mahasiswa Psikologi Universitas Ahmad Dahlan”. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain terletak pada subjek dan variabel penelitian. Subjek penelitian yang digunakan pada penelitian Rohaeni adalah mahasiswa psikologi Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta sedangkan dalam penelitian ini menggunakan mahasiswa yang tinggal di asrama Kabupaten Paser. Variabel bebas pada penelitian sebelumnya adalah kepercayaan diri sementara dalam penelitian ini variabel bebas yang akan dikaji adalah berpikir positif.
Penelitian dengan judul “ Hubungan antara Kesabaran dengan Kemampuan Pemecahan Masalah” dilakukan oleh Dicki (2005). Hasil penelitian ini adalah ada hubungan positif antara kesabaran dengan kemampuan pemecahan masalah. Semakin tinggi kesabaran maka semakin tinggi kemampuan pemecahan masalah demikian pula sebaliknya. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan yang bekerja di Bank Indonesia Bengkulu. Variabel bebas yang digunakan adalah kesabaran sedangkan dalam penelitian ini variabel bebas yang digunakan adalah berpikir positif. Perbedaan penelitian yang dilakukan oleh Dicki dengan penelitian ini selai pada variabel yang digunakan adalah pada subjek penelitian. Penelitian terdahulu subjek yang digunakan adalah karyawan yang bekerja di Banki Indonesia Bengkulu sedangkan pada penelitian ini subjek yang akan digunakan adalah mahasiswa yang tinggal di asrama Kabupaten Paser. Perbedaan lain terletak pada tahun pelaksanaannya. Penelitian terdahulu dilaksanakan pada tahun 2005 sedangkan penelitian ini akan dilakukan pada tahun 2010.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini adalah asli berasal dari pemikiran penulis. Meski terdapat kesamaan pada aspek yang hendak diungkap akan tetapi masih banyak perbedaan seperti dalam hal variabel bebas, teori maupun subjek penelitian.

C.    Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecenderungan berpikir positif dengan kemampuan pemecahan masalah pada mahasiswa di asrama Kabupaten Paser.

D.    Manfaat Penelitian
1.     Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi ilmiah sebagai wacana pemikiran dan informasi serta menambah wawasan dan sumbangan terhadap pengembangan ilmu psikologi khususnya kajian yang berhubungan dengan kecenderungan berpikir positif dan kemampuan pemecahan masalah.
2.     Manfaat Praktis
a.     Mahasiswa di Asrama Kabupaten Paser
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan agar mahasiswa mempunyai kemampuan pemecahan masalah yang baik.
b.     Asrama Kabupaten Paser
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan masukan untuk melatih dan memberikan pemahaman untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah pada seluruh mahasiswa di asrama Kabupaten Paser khususnya dan Asrama – asrama mahasiswa yang lain.
.